Apa yang terpikirkan pertama kali di benak Anda apabila mendengar kata “penipuan investasi” ? Mungkin dalam bayangan sebagian besar orang adalah penipuan terjadi ketika seseorang ditawari keuntungan berlipat-lipat dalam waktu yang relatif singkat. Misalnya Anda ditawari peluang investasi dari seseorang atau lembaga yang menjanjikan keuntungan tujuh persen per bulan. Ingat, per bulan, bukan per tahun! Apakah Anda tergiur? Sebagian orang sangat tergiur dan dengan riset ala kadarnya, ditambah dengan “nafsu” mendapatkan keuntungan berlipat dalam waktu yang relatif singkat, mereka pun menggelentorkan dananya. Bayangkan, dengan hanya mengeluarkan 10 juta rupiah misalnya, investor akan mendapatakan 700 ribu per bulan. Lebih besar daripada bunga bank. Dan herannya, ternyata pengelola mampu membayar “bagi hasil” tersebut kepada investor-investornya.
Modus penipuan seperti ini disebut dengan skema Ponzi. Skema ini adalah menipu investor dengan menghasilkan laba yang bukan berasal dari keuntungan bisnis, melainkan dari dana investor lainnya. Istilahnya, gali lobang tutup lobang. Ketika pengelola harus membayar keuntungan pada investor pertama, maka ia mengambil dana dari investor kedua. Demikian seterusnya sampai kemudian ia tidak mampu mendapatkan pinjaman lagi sehingga investornya dirugikan. Dan inilah yang terjadi pada berbagai macam kasus penipuan investasi di Indonesia, mulai dari skala kecil seperti Phinisi Bagdja Utama di Bandung, PT QSAR, Add Farm dan lainnya. Pengelola tidak lagi mendapatkan suntikan cash flow dari pada investor barunya sehingga akhirnya tidak mampu membayar. Kalau sudah begini, biasanya mereka akan membuat pertemuan dengan para investor dan meminta kesediaan untuk memberikan waktu tambahan. Dan ketika mengumpulkannya pun tidak di sembarang tempat, biasanya mereka menyewa hotel (kelasnya bergantung dari citra perusahaan tesebut, biasanya Bintang Empat).
Ciri-ciri penipuan investasi yang menggunakan skema Ponzi adalah menjanjikan keuntungan yang tinggi dengan resiko yang minim. Ingat, there is no such free lunch! Tidak ada makan siang gratis. Mau tinggi penghasilan, harusnya bersedia untuk menerima resiko yang lebih tinggi. Tidak ada satu instrumen investasi manapun yang bisa memberikan keuntungan berlipat dengan resiko minim. Jika ada yang seperti itu, bisa dipastikan bahwa apa yang ditawarkan tersebut menggunakan skema Ponzi. Penipu menawarkan ilusi keuntungan. Bahasa lain dari skema ini adalah skema Piramida. Dulu marak di Indonesia dengan istilah KKS (Kanan Kiri Seimbang). Ada juga Mega Bonus yang populer di tahun 1999an dan sempat membuat para pelaku bisnis MLM yang sudah mapan “bedol desa” pindah ke sana.
Skema Ponzi pertama kali “diperkenalkan” oleh Charles Ponzi dari Italia. Dialah pelopor penipuan investasi yang hidup dan beraksi pada tahun 1920an dengan memiliki sederet nama samaran demi mendapatkan investor baru. Konsep “produk” yang ia tawarkan sebenarnya ederhana yaitu dengan menjual perangko. Perangko yang dibeli di sebuah negara bisa ditebus di negara lain dengan perbedaan harga yang cukup tinggi kepada investor.
Ia menjanjikan bunga keuntungan sebesar 50 persen dalam kurun waktu 45 hari. Dan jika investor memperpanjangnya sampai 90 hari, maka keuntungannya bisa mencapai 100 persen. Hanya dalam waktu yang relatif singkat alias beberapa bulan sejak ia “meluncurkan” konsep tersebut, ia sudah berhasil mengantongi US$20 juta yang kalau dikonversikan pada saat ini senilai dengan US$222 juta.
Ponzi sempat menikmati kehidupannya sebagai penipu ulung yang berhasil dia kadali. Dan sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Ponzi akhirnya ditangkap dengan dakwaan 86 tuduhan penipuan kepada masyarakat. Nilai hutangnya kepada para investor yang berhasil ditipu mencapai US$ 7 juta. Akibat perbuatannya itu ia harus mendekam selama 14 tahun di penjara. Ponzi meninggal di Brasil tahun 1949 dalam keadaan miskin dan bangkrut.
“Warisan” Ponzi berupa konsep penipuan pada akhirnya diterapkan juga pada generasi penipu setelah dirinya. Termasuk di Indonesia. Skema Ponzi telah berhasil menjadi skema andalan bagi para pelaku bisnis investasi abal-abal demi merekrut dan menghimpun dana masyarakat. Untunglah saat ini sudah ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang melindungi dana masyarakat dari para tukang tipu. Setidaknya, potensi kerugian akibat investasi seperti ini bisa diminimalisir.
Maka waspadai apapun jenis investasi yang tidak rasional!